Kedelai. Rasanya komoditas yang satu ini telah menjadi buah bibir sejak beberapa bulan yang lalu. Mulai dari aparatur pemerintah, pengusaha, pengrajin tahu tempe,
pedagang pasar hingga petani di pelosok-pelosok desa. Topiknyapun sama, bahwa komoditas ini mulai langka dijumpai dipasaran. Berbagai masalah sosial yang muncul antara lain asosiasi pengrajin tahu tempe yang sempat mogok untuk melakukan produksi. Sebagian telah merumahkan beberapa tenaga kerja bahkan sampai ada yang tutup usaha.
Kedelai telah menjadi komoditas strategis saat ini. Sumber protein nabati yang bisa diperoleh dengan harga terjangkau telah menjadi alternative pilihan masyarakat dalam rangka mencukupi kebutuhan akan gizi yang lengkap bagi keluarga. Ditengah harga daging yang juga semakin sulit terjangkau kalangan menengah kebawah, tahu dan tempe menjadi pilihan yang tepat untuk itu. Bahkan beberapa keluarga telah menjadikannya lauk pauk wajib untuk dihidangkan dalam menu sehari-hari.
Telah banyak sebenarnya upaya pemerintah yang dilakukan. Fokusnya adalah terus meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman kedelai. Salah satu langkah riil yang dilakukan adalah dengan adanya program SLPTT (Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu) Kedelai. Dalam kegiatan ini, Petani di bimbing secara intensif oleh Petugas Penyuluh yang tesebar diseluruh wilayah dalam melakukan kegiatan budidaya.
Lahan percobaan disediakan petani sebagai Laboratorium Lapang (LL) untuk menunjang sarana belajar bersama. Dilahan inilah berbagai teknologi spesifik lokasi diterapkan. Pertanyaan Petani yang timbul dalam kegiatan budidaya mereka, tersingkap dalam perlakuan LL. Kejadian lapanglah yang akan menjawab berbagai permasalahan yang dihadapai petani.
Memang hal ini membawa dampak positif bagi petani jika hal ini bisa diterapkan. Seperti yang dilakukan Munir kali ini. Sekretaris Kelompok tani Sunggingan Desa Morosunggingan Kecamatan Peterongan ini mulai sadar dan memetik hikmah dari kegiatan LL. Dari lahan 1 Ha yang ia kelola, produktivitas tanaman kedelainya menghasilkan 2,415 ton/ Ha meskipun dengan cara tanam konvensional. Dalam arti tanpa olah tanah sempurna dan ditanam dengan cara sebar. Sangat konvensional seperti yang dilakukan petani pada umumnya dimana hasil rata-rata yang diperoleh didaerah itu dalam kisaran 1,967 ton/ ha.
Perlakuan pada LL hanya selisih dalam menambahkan Pupuk Organik Cair (POC) sebanyak 3 liter selian pengaturan pengairan. Bokashi (Pupuk Organik) yang diaplikasikannyapun sama yaitu 7,46 kw/Ha dan pupuk NPK 700 kg/Ha. Dengan varietas yang sama (Grobogan) ternyata menghasilkan produktivitas yang berbeda. Dari pengalaman ini, ternyata hanya dengan menambahkan 3 liter POC, bisa meningkatkan produtivitas kedelai hingga 448 Kw/Ha. Ungkap Munir menyimpulkan. Jika olah tanah dilakukan sempurna dan cara tanam dengan jarak tanam teratur, saya yakin hasilnya akan lebih baik. Tambah Bindari Insiyah selaku Penyuluh setempat.
Dari hasil analisa usaha tani yang diperoleh dengan harga pasar saat itu Rp. 8.300,- maka selisih keuntungan sebesar Rp. 3.718.400,-/ Ha. Hal ini tentunya akan memotivasi petani agar terus meningkatkan produktifitasnya melalui penerapan teknologi pertanian berbasis organik.
(Rudi Priono - Unit TI Dinas Pertanian Kab. Jombang)